
JimmyCarvallo.com– Di usianya yang kini 60 tahun, Agus Wisang masih nampak enerjik, bugar dan penuh vitalitas, tidak hanya saat diajak mengobrol tentang berbagai hal, juga ketika dia sedang berada seorang diri di rumahnya, di Ngencung, Kecamatan Langke Rembong di Ruteng. Menata taman bunga, membaca buku dan sesekali melukis menjadi kesibukan hari-hari hidupnya sejak masa purnabakti sebagai guru.
Ketika saya mendatangi rumahnya, Senin, 7 Februari 2022 siang, di ruangan tamu yang menghadap ke jalan raya, ayah dari tiga orang anak ini sedang sendirian, duduk di sofa sambil menerima telpon dari seseorang dengan ceria. Ia sosok seorang ayah, kepala keluarga, seniman yang menjalani masa purna bakti dengan menyenangkan dan santai.
Lahir di Mukun, Manggarai Timur, 26 Januari 1962, Agustinus Polikarpus Wisang, yang akrab disapa Agus, merupakan pria dengan multi talenta. Selain lama mengabdi sebagai pendidik (guru) di SMA Santu Thomas Aquinas, dia juga memiliki bakat seni melukis beraliran naturalisme dan menjadi master of ceremony (MC) di banyak event pernikahan dan syukuran.
Saat memasuki ruang tamu rumahnya, tiga lukisan besar berukuran 1×1,5 meter bergantung kokoh di dua dinding tembok bercat putih. Satunya lagi berjejer di antara foto-foto dan hiasan dinding lainnya, di ruangan keluarga. Dibingkai rapih dan berkaca, lukisan kuntum-kuntum bunga Anggrek, pemandangan padi di sawah yang mulai menguning dan lukisan setandan pisang menguning langsung menarik perhatian saya.

Tiga lukisan di atas kanvas tersebut menggunakan (cat minyak) krayon yang bahannya didatangkan dari Pulau Dewata. Semua merupakan lukisannya sendiri, saat masih aktif menjadi guru di SMA Santu Thomas Aquinas. “Mengapa melukis bunga-bunga Anggrek ini?” tanya saya membuka percakapan sambil mengagumi lukisan itu.
“Bunga Anggrek melambangkan hati kita yang harus selalu berbunga-bunga, menerima siapa saja dengan hati terbuka. Anggrek melambangkan keindahan hati, persahabatan dengan semua orang yang kita jumpai dalam hidup,” cerita Agus, saat kami berdiri di depan lukisan Anggrek karyanya.
“Lukisan sawah merupakan simbol kemakmuran dan ajakan agar kita menghargai tanah dan bumi sebagai anugerah dari Tuhan. Saat melukis pisang yang telah matang atau masak itu juga punya arti tersendiri. Saya mengimani bahwa itu adalah simbol dari hidup kita. Pisang cuma sekali saja berbuah, kita pun hidup harus berbuah dengan banyak berbuat kebaikan, memberi manfaat bagi orang banyak,” kata Agus.
Sebagai seorang guru swasta yang hidup pas-pasan, kreativitasnya dalam melukis tidak surut. Kadang pula, ia bersentuhan dengan pengalaman-pengalaman yang tak terduga namun berkesan. “Saya punya seorang kakak yang tinggal di Bali, menjadi sopir Bapa Uskup Denpasar, Mgr. Vitalis Djebarus,” kisah Agus mengenang kejadian Rabu, 9 Juli 1997 lalu.
Suatu hari, tetiba, kakaknya yang bernama Piter muncul di depan rumahnya yang sederhana, berdinding bambu, dengan mobil berwarna putih yang juga ditumpangi Uskup Vitalis. Kakaknya menurunkan sebuah televisi kecil yang dibawa dari Bali untuk dihadiahkan kepada keluarga Agus.
Saat sedang menurunkan televisi itu, betapa terkejutnya dia, karena ternyata, Uskup Vitalis terlihat turun dari mobil itu. Ia tak tahu kalau ada Uskup di mobil. Ngencung di tahun itu, masih sepi, jalanan pun belum beraspal. Masih dipenuhi rerumputan, sisanya semak belukar di pinggir jalanan.
“Saya terkejut saat melihat Bapa Uskup Vitalis, lalu dengan terbata-bata, mempersilahkan beliau masuk ke rumah. Rumah sederhana berdinding bambu. Lantai masih tanah saat itu. Di dalam rumah, Bapa Uskup sempat melihat sekeliling ruang tamu dan bertanya kenapa tidak ada satu pun gambar kudus,” kenang Agus.
Usai bertanya, Uskup Vitalis lalu menyuruh, Piter, kakak Agus, agar mengambil patung yang tersimpan di mobil mereka. Sebuah patung Bunda Maria dari kayu Cendana, bermotif pakaian adat Bali, dihadiahkan Mgr. Vitalis langsung ke tangan Agus. Kembali terkejut dan seakan tak percaya, patung yang harum semerbak itu pun diterimanya penuh keharuan.

“Waktu memberikan patung Bunda Maria menggendong Yesus itu, Bapa Uskup Vitalis berpesan agar kami selalu berdoa banyak kepada Bunda Maria. Saya merasa, antara percaya dan ragu, seperti mimpi saja. Patung itu saya terima dengan senang hati dan penuh syukur,” kata Agus.
Sejak kejadian tak terlupakan yang dialaminya itu, mereka sekeluarga sering berdoa bersama di hadapan arca Bunda Maria menggendong Yesus. Tak terhitung bantuan rohani yang mereka alami dalam perjalanan hidup keluarga. Sampai saat ini, Agus meyakini, dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan sebagai seorang guru swasta, sukses pendidikan 3 orang putra-putrinya tak lepas dari bantuan Bunda Maria.
Baca Juga : Simprosa Rianasari Gandut : Etika Politik Tetap Saya Jaga
Baca Juga : Komunitas Kerahiman Ilahi Paroki Kumba, Dari Doa Menuju Pelayanan
Baca Juga : Awam Montfortan Flores Gembira Menyambut Tahun Misi Kontinental
Tiga orang anaknya, telah menyelesaikan pendidikan sarjana dan paska-sarjana, di Universitas Ende (Flores), Universitas Brawijaya Malang, Universitas Mahidol Thailand dan Universitas Merdeka Malang. Suami Maria Nimat, yang pernah mengenyam pendidikan di SMP Seminari Pius XII Kisol ini, menyukuri hidupnya juga dengan cara memberi diri pada pelayanan, salah satu di antaranya beberapa periode menjadi ketua Komunitas Basis (Kombas) di wilayah tempat tinggalnya, Ngencung, Paroki Katedral.
“Kami sekeluarga mengalami campur tangan Tuhan dalam perjalanan hidup. Kita jangan pernah takut dengan hidup dan masa depan, karena Tuhan punya rencana yang baik untuk setiap orang, setiap keluarga. Yang penting, kita jangan pernah berhenti berdoa, serahkan hidup kepada Tuhan,”kata Agus.
Sejak arca Bunda Maria berada di rumahnya, setiap hari, Agus selalu meletakkan bunga-bunga segar di dekatnya. Pekerjaan rutin itu terus dilakukannya sampai saat ini. Di halaman rumahnya pun tumbuh subur beraneka ragam dan warna bunga yang sengaja dirawatnya agar setiap hari selalu ada kuntum bunga yang dipersembahkan kepada Bunda pujaan hatinya.
Lahir dan bertumbuh di tengah keluarga yang memperhatikan dengan baik pendidikan, dari seorang ayah bernama Wilibrodus Wisang, guru Sekolah Dasar di Rende, Kisol, Agus mulai bersekolah di SDI Rende, SMP Seminari Pius XII Kisol, SPG Santu Aloysius Ruteng (tamat 1982) dan melanjutkan kuliah Sosiologi di Perguruan Tinggi Taman Siswa, Kota Gudeg.

Tahun 1986, setelah menyelesaikan kuliahnya, ia sempat menjadi asisten dosen. Saat pulang libur, Agus lalu melamar sebagai guru di SMA Katolik Santu Thomas Aquinas Ruteng. Sejak tahun1989 ia mulai mengampuh mata pelajaran Sosiologi dan Pendidikan Seni. “Saya bersyukur pernah studi di Yogyakarta, kota seni. Bakat seni saya kembangkan secara otodidak, sering berkumpul dengan para seniman lukis, termasuk bertandang ke rumah pelukis maestro Indonesia kala itu, Affandi,”kenangnya.
Saat masih di Yogyakarta, teman-teman indekost juga banyak yang sedang kuliah di Institut Seni, dia sering membagi waktu bersama mereka mengasah talenta melukis. Bakat melukisnya telah ada sejak masih di bangku SD. “Saya sering menggambar wajah pahlawan nasional di kertas, waktu masih SD. Saya lihat foto mereka dari buku Sejarah.”
Pada tahun1996, Agus terpilih menjadi Kepala Sekolah di SMA Santu Thomas Aquinas. Jabatan itu diembannya sampai tahun 2018. Kepala sekolah terlama (12 tahun) di lembaga pendidikan yang dikelolah Yayasan Pendidikan Nucalale.
Impiannya saat menjadi Kepala Sekolah terwujud. Membawa perubahan signifikan pada SMA Santu Thomas Aquinas Ruteng baik secara akademik maupun fisik. Semua gedung sekolah lama yang terbuat dari papan diruntuhkan, diganti bangunan baru, permanen. Perjuangannya teguh, menjadikan impian mencapai kenyataan. Gedung lantai 2 di tengah kompleks sekolah menjadi gedung pertama yang direnovasi total.

Bersama seorang alumnus di sekolah ini, Oswald Angkasa, Agus ikut mengarsitek, mendesain gambar bangunan baru yang kini berdiri kokoh nan megah. Dengan dukungan dana DAK, DAU, dana-dana dari pusat, wajah SMA Santu Thomas Aquinas di usia emasnya kini, telah banyak berubah. Gedung area utara dan timur (depan gerbang masuk) pun lebih menampakan kemegahan dan nampak modern. Ada 13 ruangan KBM yang dibangun. Seluruhnya direnovasi jaman Agus menjadi Kepala Sekolah.
Berkat kerja keras dan prestasinya menahkodai kemajuan di SMA Santu Thomas Aquinas, Yayasan Nucalale lalu mengapresiasinya dengan memberi hadiah sebuah sepeda motor. Saat sedang mencoba inreyen ke Borong, Manggarai Timur, sepeda motor “laki” itu sempat mengalami kecelakaan saat jalanan sedang berkabut tebal. Namun, syukur, Agus tidak mengalami cedera berarti. Hanya, pergelangan tangan kanannya yang mengalami keseleo.
Kejadian di tahun 2012 itu, membuat dia kini tak lagi bisa melukis dengan sempurna seperti sediakala. “Sejak kejadian itu, saya rasanya tidak bisa lagi melukis secara profesional. Hanya untuk menyalurkan hobi, karena ada hubungan dengan pergelangan tangan kanan yang tidak bisa selincah atau selentur dulu sebelum kejadian kecelakaan itu,” tuturnya.

Bagai pepatah buah tak pernah jatuh jauh dari pohonnya, ketiga anaknya juga memiliki hobi melukis. Di ruangan keluarga, Agus sempat menunjukkan kepada saya sejumlah lukisan yang dibuat anak-anaknya. Semuanya dibingkai dengan apik. Begitu pun di beberapa bagian tembok rumah, aneka mural yang dibuat anak-anaknya dengan paduan warna-warni cerah menghiasi dinding rumah.
Di banyak acara pernikahan di Manggarai Raya, Agus, yang memasuki masa purnabakti sejak Desember 2021 lalu, juga dikenal banyak orang sebagai Master of Ceremony (MC) acara pernikahan. Bicaranya sejuk, terukur, santun, kaya makna dan menghibur banyak orang yang hadir. Sejak tahun 1990an, saat kembali dari Yogyakarta, bakat Mc-nya dimulai dari acara-acara di sekitar lingkungan tempat tinggalnya lalu meluas ke banyak tempat.
“Dengan bertambahnya umur, saya lebih memilih acara siang hari saja untuk menjadi MC kalau ada permintaan dari penyelenggara acara pernikahan,”kisahnya.
Di akhir obrolan kami, saat saya bertanya, apa makna hidup yang dijalaninya hingga kini berusia 60 tahun, Agus mengatakan, sebenarnya hidup yang kita jalani, 75 persen merupakan campur tangan dari Tuhan. “Jangan pernah takut untuk hidup. Jalani saja, berserah kepada Tuhan. Tuhan pasti selalu memberi yang terbaik kepada kita. Selebihnya kita berusaha, tetapi berusaha dalam penyelenggaraan Tuhan.” (Jimmy Carvallo)