Oase

Ayah, Pahlawan yang Selalu Ada Dalam Kenangan

Di atas tanah berelief perbukitan di Pemakaman Kilo 5 arah utara Kota Ruteng, di antara puluhan makam Tionghoa yang berjejer rapih, berdiri sebuah makam bercat warna putih berpadu garis coklat pada pinggirannya. Di makam itu, sejak 8 tahun lalu terbaring dalam damai ayah saya, The Sie Tie, yang wafat dalam kesederhanaan.

Semasa hidup ia sosok lelaki yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang luar biasa dari sisi prestise atau kedudukan sosial, jabatan apalagi pengaruh dan popularitas. Selama hidupnya, ia dikenal sebagai seorang yang pendiam, penyayang, sopan, peduli pada sesama, rendah hati dan sederhana. Hidupnya dijalani dalam semangat religiositas Kristiani yang dipegangnya teguh.

Sejak muda, ia pekerja yang ulet. Berdagang seminggu sekali, sehari penuh di pasar rakyat Borong setiap hari Selasa di tahun 1980an. Kenangan akan peristiwa itu membahagiakan, karena setiap sepulang dari sekolah (SD) saya pun biasa langsung menuju pasar, ikut menjaga stan tempat ayah berjualan aneka barang kebutuhan rumah tangga.

Di rumah tinggal kami di Kampung Bugis, ayah membuka usaha toko. Ia tekun menjalankannya, berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kala itu, Borong masih sepi, tidak seramai sekarang sejak menjadi ibu kota Kabupaten Manggarai Timur. Kampung Bugis menyerupai komunitas desa yang warganya belum sebanyak sekarang, namun penuh kedamaian dan hidup rukun bersahaja.

Baca Juga : Suara untuk Tuhan, Pelayanan untuk Sesama

Ketika hari-hari pertama masuk SD Bugis I Borong, setiap pagi, ayah selalu mengantar saya dengan berjalan kaki, cukup jauh. Di kemudian hari, agar lebih cepat tiba di sekolah, saya sering menyusuri jalan setapak yang melintasi hutan, yang selalu dimulai dengan menyeberangi Kali Wae Bobo. Kadang sendirian. Jarang ada rasa takut.

Kalaupun muncul rasa takut diwaktu tertentu, selalu dilawan dengan mengucapkan doa Salam Maria dengan suara yang nyaring. Hutan yang lengang terasa tidak lagi menakutkan. Sampai pernah, seorang ibu yang sedang menggarap kebunnya di sekitar hutan kaget dan langsung berdiri sambil memandang ke arah saya terheran-heran.

Saat melihat mereka, yang memakai barak (bedak basah putih tebal) saya pun lari terbirit-birit. Berpikir mereka makhluk dari mana. Kadang lari tak tahu arah. Menabrak apa saja yang ada di depan, ranting, pohon pisang, gundukan batu. Maklum, anak kecil sering dihantui fobia.

Ayah beberapa kali mengantar saya menyeberangi kali yang airnya setinggi lutut. Tangannya menggenggam erat tangan saya, agar tidak terpeleset di bebatuan kali yang licin karena lumut. Kadang, ia menggendong hingga mencapai seberang kali. Demikian pun sepulang dari sekolah, dengan wajah gembira seorang ayah, ia menyambut di depan rumah.

Peristiwa banjir Kali Wae Bobo yang sering melanda Kampung Bugis membuat ayah mengambil keputusan untuk pindah ke Ruteng di tahun 1980an. Meluapnya Kali Wae Bobo menciptakan abrasi yang semakin dekat dengan rumah-rumah warga kala itu. Kami pun pindah ke Ruteng. Saat itu saya masih di bangku kelas 4 SD.

Sehari sebelum pindah, beberapa tetangga dekat berkunjung. Ada yang membawa ayam dan beberapa barang lainnya sebagai hadiah, sebagai bentuk rasa terima kasih dan rasa kehilangan karena kepindahan kami.

Ayah kembali lanjut berdagang dengan membuka usaha kios sambil mengontrak cukup lama sebuah rumah di Jalan Slamet Riyadi, Keluarahan Watu. Hingga suatu ketika di pertengahan tahun 1990an, pindah ke rumah sendiri di Tenda, arah selatan Kota Ruteng. Di sini, ia setia mengabdi pada pekerjaannya, dekat dan akrab bergaul dengan warga masyarakat sekitarnya, sampai menghembuskan nafas terakhir di rumah yang selalu membuatnya betah melewati usia senja.

Baca Juga : Firan Tani, Dua Novel Satu Impian

Pernah, saat menghadiri dan memberi restu pada pernikahan saya di Labuan Bajo, melihat saya sedang mengenakan jas, wajah ayah mulai memerah. Air matanya jatuh. Ia mengambil sapu tangan dari sakunya dan beberapa kali mengusap air matanya. Mungkin ia terharu melihat saya, anaknya yang kini sudah dewasa. Atau bisa jadi, terpikir olehnya, betapa sulit dan besarnya tantangan menjadi seorang ayah di masa kini.

***

Hari ini, kita peringati sebagai Hari Ayah. Hanya berselang dua hari dari peringatan Hari Pahlawan yang dirayakan setiap 10 November. Setiap ayah adalah pahlawan dalam keluarganya yang selalu dikenang oleh anak-anaknya. Kenangan akan sosok seorang ayah tak pernah lekang oleh waktu, tak bisa hilang disepanjang liku hidup setiap anak.

Tak ada ayah yang tak menjadi pahlawan bagi anak-anaknya. Pahlawan yang disematkan pada diri seorang ayah, bukan karena ia memanggul senjata mengusir penjajah seperti yang dilakukan para pejuang gagah berani dalam merebut kemerdekaan.

Ayah, adalah sosok pahlawan yang memanggul cinta, perhatian, bela rasa, perjuangan mencari nafkah bagi keluarga, pengorbanan jiwa raga dan pelindung bagi anak-anaknya. Semua ayah di dunia, hemat saya, tak membutuhkan gelar atau penghargaan sebagai sosok pahlawan keluarga. Mereka terus berjuang dalam ketekunan, kesunyian, doa dan semangat yang tak kunjung padam.

Terkadang, perjuangan hidup mereka melelahkan karena penuh lika-liku, acapkali juga membahagiakan karena bisa berbagi hidup dengan orang-orang yang dikasihinya dalam keluarga. Di dunia ini, tak ada sosok manusia yang paling berkorban, selain seorang ayah.

Sekalipun hidupnya kadang digoda rasa cinta diri, ia masih tahu berbagi skala prioritas jerih payah, memberi diri dengan tidak memperhitungkan nilai pengorbanan yang telah dilewatinya dengan susah payah. Meskipun diantaranya banyak yang bukan kaum lelaki citoyens (terpelajar) kesempurnaannya sebagai figur ayah tak diragukan.

Beberapa waktu lalu, seorang ibu tua (Oma) bercerita pada saya. Suaminya yang sudah tua renta meninggal beberapa tahun lalu. Lama didera sakit berkepanjangan, suaminya berpulang ke dunia seberang dalam kesederhanaan. Lama ia tak lagi bisa mencari nafkah untuk keluarganya. Sang istri (oma) dan anak-anaknya tak menyerah. Mereka bekerja tanpa kenal lelah untuk bisa bertahan hidup di Kota Ruteng.

Empat tahun berlalu tanpa kehadiran suaminya. Beberapa hari lalu, saat sedang membersihkan tumpukan dos-dos tua di kolong tempat tidur kamarnya, tak sengaja ia melihat sebuah buku tabungan kumal di dasar dos. Oleh anaknya, dia disarankan membawa ke kantor Bank dan menanyakan apakah dananya masih ada.

Baca Juga : Ketika Kapal Pinisi Sallahudin Berlabuh di Pantai Labuan Bajo

Ternyata sejumlah uang masih bisa diambil. Uang peninggalan suaminya yang lama terpendam tanpa sepengetahuan orang-orang di dalam rumah. Mereka pun mengurus pergantian buku tabungan (rekening) baru karena buku tersebut sudah sangat lama.

Dari suaminya yang telah tiada, anak-anak gembira, bersyukur, karena ketika ekonomi keluarga sedang lesu paska pandemi Covid-19, ada “kado cinta” dari almarhum ayah mereka yang walaupun tidak seberapa besar nilai rupiahnya, tapi telah membawa sejumput kebahagiaan dalam keluarga.

Di dunia yang fana ini, ada sosok ayah yang bernasib mujur dan tidak mujur, yang karena profesinya mudah mendapat banyak uang untuk menafkahi keluarga. Ada yang harus berjuang keras, berpeluh keringat, jungkir-balik di bawah terik matahari mencari sesuap nasi bagi anak-anak yang dikasihinya.

Seorang ayah (kepala keluarga) teman akrab saya, jarang berada di tengah keluarganya beberapa tahun terakhir karena sering berpetualang di beberapa kabupaten sebagai tukang sol sepatu dan memperbaiki sofa yang rusak. Dari satu kota ia berpindah ke kota lainnya. Dari rumah ke rumah ia berjalan menawarkan jasa menjahit sepatu yang rusak atau sofa yang sudah saatnya diperbaiki.

Uang hasil keringatnya yang didapat, ia pakai untuk membiayai anak perempuan sulungnya yang sedang kuliah di sebuah perguruan tinggi. Ketika uang yang didapat sudah cukup, dengan menumpang bus, ia pulang menjumpai keluarganya di Manggarai dan berbagi kebahagiaan dengan sejumlah rejeki yang ia peroleh berminggu-minggu di tanah orang.

Seorang teman lainnya, kawan karib saya di Ruteng, tak beda perjuangan hidupnya. Hari ini dia terlihat ada di atap rumah orang sedang mengganti sink yang karat, beberapa hari kemudian dia terlihat sedang mengecat tembok rumah lainnya, atau sedang berjalan dari rumah ke rumah menawarkan jasa, apa aja yang bisa dikerjakannya. Semua dilakukan demi buah hatinya yang sedang bersekolah di SD..

Seorang ayah selalu ada di hati anak-anaknya. Banyak rahasia perjuangan dan kedalaman cinta seorang ayah pada anak-anaknya tidak bisa terbaca oleh anak. Yang mereka lihat hanya sebatas dedikasi hidup dan aktivitas mencari nafkah tanpa lelah. Ada ayah yang, demi anak-anaknya tak lapar, berjudi untuk mendapat rupiah, tak sedikit juga yang terpaksa mengemis atau meminjam uang demi kelangsungan hidup keluarganya.

Baca Juga : Tak Sekedar Nostalgia: Orang Muda Ruteng Bicara Makna Kemerdekaan

Di balik semua itu, air mata dan senyuman seorang ayah hanya mereka sendiri yang tahu. Pahit getir dan manis madunya hidup sebagai seorang ayah yang dipundaknya memikul tanggung jawab besar sebuah generasi masa depan (anak-anak) hanya mereka sendiri jua yang gumuli tanpa lelah. Sebuah pergumulan abadi yang membahagiakan hati.

Ada ayah yang sukses meniti rejeki hidup atau karier, namun gagal dalam menata keluarga yang harmonis : bercerai dengan pasangan hidup, atau sebaliknya, sukses menjadi ayah yang penyayang tapi menemui jalan buntu silih berganti gagal mengais rejeki yang mencukupi kebutuhan hidup. Ada pula yang sukses menjalani keduanya. Di balik itu, mereka tetaplah ayah. Mereka adalah makhluk yang rapuh sekaligus malaikat tak bersayap yang diberikan Tuhan pada setiap keluarga.

Dan, tak ada ayah yang sempurna di dunia ini. Sehebat apa pun seorang ayah, tetaplah ia sebentuk ciptaan dengan berbagai lapisan kelebihan (plus) dan kekurangan (minus). Dari ayah kita belajar menjadi pribadi yang kuat dan pantang menyerah. Pada diri mereka kita menimba semangat kasih, pengorbanan dan tidak cinta diri.

Di Hari Ayah yang hanya dirayakan sekali setahun ini, mari sejenak merunduk syukur pada Sang Maha Cinta, karena kita memiliki seorang ayah yang selalu berhati mulia, tidak menuntut balas jasa atas cinta mereka. Tak ada hadiah terindah bagi mereka selain mengambil hikmah dan meneladani kebaikan hati yang selalu terpancar dari cinta tanpa pamrih itu.(Jimmy Carvallo)  

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button