
Pekan terakhir Bulan Mei 2021 jagat maya di NTT, khususnya Pulau Flores ramai memperbincangkan pernyataan seorang dosen yang juga Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere, P. Dr. Otto Gusti Madung sebagaimana yang dilansir sejumlah media lokal. Pernyataan yang dianggap publik sebagai kontroversi dan “mengganggu” itu tentang harapannya agar pastor-pastor Katolik diberikan kewenangan untuk memberkati pernikahan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender atau yang biasa disingkat LGBT (mediaindonesia.com, 27 Mei 2021).
Pemegang gelar Magister Theologi dari Philosophisch –Theologische Hochscule St. Gabriel, Modling bei Wien, Austria dan Hochschule für Philosophie, Munchen, Jerman ini pada 28 Februari 2008 mempertahankan tesis doktoralnya berjudul “Politik dan Kekerasan. Sebuah Studi Perbandingan tentang Giorgio Agamben dan Jürgen Habermas (Politik und Gewald. Giorgio Agamben und Jürgen Habermas im Verleich).
Seperti dilansir portal Media Indonesia, Pater Gusti beralasan, bahwa dalam perjalanan sejarahnya, Gereja Katolik pernah keliru dengan sejumlah kasus, seperti Galileo Galilei yang pandangannya tentang matahari sebagai pusat tata surya (heliosentris) dianggap bertentangan dengan gereja sehingga astronom, filsuf dan fisikawan Italia itu dihukum. Paus Yohanes Paulus II di tahun 1992 lalu meminta maaf dan Gereja Katolik memberikan pengampunan, menerima kembali Galileo Galilei sebagai anggota gereja.
Demikian juga, pastor kelahiran Lengko Elar, 20 Mei 1970 ini mencontohkan kasus yang pernah menimpa Dawkins tentang keyakinannya dalam teori evolusi yang membuktikan Tuhan tidak ada dan membantah kisah dalam Kitab Kejadian bahwa manusia dan alam semesta diciptakan oleh Allah dalam enam hari. Dawkins pun dihukum oleh gereja, namun dikemudian hari gereja Katolik mengakui kalau teori evolusi yang diungkapnya sebagai benar dan pengisahan tentang ciptaan dalam Kitab Kejadian hanya mitos.
Pater Gusti juga mendeskripsikan cukup terang, bahwa kaum LGBT sering mendapatkan kekerasan dan diskriminasi sehingga Gereja Katolik harus bisa berpihak pada mereka. Seperti dikutip lanjut dari laman Media Indonesia, ia juga mengatakan, secara sakramen pernikahan, gereja Katolik Roma belum berpihak kepada kaum LGBT, walaupun harapan akan penghargaan kita kepada kelompok ini berikut memperlakukan mereka sebagai saudara-saudari kita sudah pernah ditegaskan Paus Fransiskus.
Dari sinilah, apa yang kita sebut sebagai kontroversi yang memantik perdebatan panjang di media sosial dan beberapa media online menjadi menarik disikapi bersama, ketika bola panas itu bergulir dan semakin menjadi buah bibir. Mari kita lihat dengan jeli apa yang dikatakan Pater Gusti lebih lanjut. “Dari penjelasan saya di atas tadi, bahwa gereja Katolik juga pernah keliru. Jadi, saat ini kita perlu dorong secara sakramen pernikahan di gereja Katolik sehingga mereka, LGBT itu juga kedepannya bisa diberkati pernikahan oleh para Pastor Katolik.”
Pernyataan ini disampaikannya dalam kapasitas sebagai seorang intelektual yang mengampuh mata kuliah hak-hak asasi manusia di STFK Ledalero pada 26 Mei 2021 dalam suatu seminar ilmiah tentang hak-hak asasi manusia di kampus tersebut.
Saat mengklarifikasi lebih lanjut pernyataannya yang telah terlanjur “menggelinding” kemana-mana hingga ditanggapi secara berbeda-beda (pro-kontra), Pater Gusti juga mengatakan, bahwa dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, mungkin saja sikap Gereja terhadap kaum LGBT akan berubah di masa depan. Menurutnya, basis argumentasi etis penolakan Gereja Katolik mengakui pernikahan sesama jenis diantaranya konsep hukum kodrat (ius naturale), ungkapan dari hukum Ilahi (ius divinum). Ergo bertindak melawan hukum kodratdan sama artinya melawan perintah atau hukum Allah yang berarti dosa.
Premis hukum kodrat ini, menurut Pater Gusti, diumpamakan dengan bukan sesuatu yang jatuh dari langit, tetapi hasil pembuktian ilmu pengetahuan. Dalam perkembangannya, pengujian tentang kesesuaian hukum kodrat, ahli etika juga merujuk pada penemuan ilmu pengetahuan. Maka, homoseksualitas bukanlah menjadi sesuatu yang abnormal tetapi bersifat kodrati sehingga dengan itu pula pada tahun 1990, WHO sudah mencoret homoseksualitas sebagai penyakit mental. LGBT menjadi sesuatu yang kodrati. (mediaindonesia.com 28 Mei 2021, Klarifikasi Dosen STFK Ledalero Otto Gusti Terkait Pernikahan LGBT).
Itulah sekilas gambaran dari mana perdebatan sengit bermula. Tak hanya sejumlah media yang telah berhasil mengutip “sepotong-sepotong” dari sumber lain yang cukup sahih memberitakannya sambil mencari nara sumber lain yang diajak berpendapat namun sebenarnya tidak berkompeten menanggapi debat-ilmiah ini, publik pun semakin ikut nimbrung meramaikan umpan balik dengan narasi-narasi yang tidak lagi mendudukkan substansi gagasan Pater Gusti tetapi lebih memilih memberi stigmatisasi (label) yang subyektif, menuruti emosi (perasaan) juga minus nalar.
Belum lama ini, saking “tenggelam” dalam kisahnya yang menyentuh hati, saya berulang-ulang membaca ulasan reportase Viriya Paramita dalam buku berjudul “Menjejal Jakarta”. Salah satu kisah dalam buku yang terpilih sebagai penerima “Hibah Buku Nonfiksi” bagi wartawan yang dilakukan Pindai.org itu diberi judul “Malela, Mereka Ingin Diakui”. Delapan halaman, Virya menulis artikel tentang pengalamannya saat ditugaskan meliput dunia LGBT dalam hal ini kaum gay di Jakarta yang kenyataannya tidak mudah berjuang mendapatkan pengakuan dan penerimaan dari orang lain, baik masyarakat maupun keluarga.
Para LGBT, masih sering dicibir, dilaknat bahkan dikutuk oleh orang-orang yang merasa diri lebih sempurna, karena prasangka buruk yang terpelihara sejak lama yakni memojokkan mereka sebagai orang-orang durhaka yang membawa petaka dalam kehidupan. Di sejumlah kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, kaum LGBT (terutama gay) sering bertemu di organisasi khusus yang mereka adakan dan bebas mengekspresikan dirinya di klub-klub malam khusus tanpa ada yang menghalangi, seperti di Apollo Club Jakarta.
Pada April 1981 sempat ada pasangan lesbian yang melangsungkan pernikahan di Blok M Jakarta. Sontak, sejak peristiwa itu, mereka mendapat banyak cibiran dan muncul perlawanan pembelaan diri dari para gay atau pun lesbian di Indonesia karena ramainya pemberitaan pernikahan tersebut mendiskreditkan mereka.
Setelah mencermati dengan serius apa yang digagas oleh Pater Gusti, saya sampai pada kesimpulan, sebenarnya, tidak ada sesuatu yang luar biasa sehingga harus direspon dengan narasi yang membabi-buta, apalagi memojokkan cendikiawan muda ini dengan serampangan, tanpa memahami dan mendudukkan dengan baik serta jeli inti pernyataannya saat dikutip media. Bahwa terbersit harapannya, suatu saat nanti pastor gereja Katolik bisa menikahkan pasangan sesama jenis, yang merupakan kelompok LGBT, itu pun tidak mudah terjadi begitu saja. Dalam konteks ini, dia hanya menawarkan sebuah kemungkinan, sementara “jarak tempuh” untuk mengewantahkannya tentulah sangat jauh bahkan terbilang sulit, tak semudah membalikkan telapak tangan.
Pater Gusti menawarkan perpektif ini untuk menggugah pandangan kita terhadap kaum LGBT, maka konsekuensi dari perspektif yang dia gagaskan itu bukan tidak mungkin juga suatu saat gereja Katolik (bisa saja) membolehkan para imamnya memberkati pernikahan pasangan sesama jenis. Apa yang dialami oleh para LGBT merupakan sesuatu yang kodrati, lebih jelasnya : berasal dari Tuhan juga, karena apa yang kita miliki, baik bentuk fisik, emosi, perasaan,daya tarik lahiriah/jasmaniah, kasih sayang (eros) pendek kata semua kelebihan dan kekurangan pada diri merupakan pemberian Tuhan, anugerah yang kita terima sebagai hadiah kehidupan yang unik atau khas.
Sebagai ciptaan Tuhan, kita semua selayaknya menyadari, sebagaimana kita bisa menerima diri apa adanya, demikian pula kita harus bisa menerima orang lain, siapapun mereka, termasuk kaum LGBT apa adanya, tanpa memprotes bahwa Tuhan menciptakan mereka secara salah, aneh atau tidak sempurna. Sebagai sesama manusia ciptaan Allah, bukanlah sesuatu yang terpuji bila kita menolak kehadiran mereka sebagai manusia dengan derajat sama. Inilah diskursus yang sedang dibangun oleh Pater Gusti dalam tataran pergumulan intelektualnya.
Dengan demikian, karena adanya pengakuan akan kesamaan citra sebagai makhluk ciptaan Tuhan, maka seperti kita, mereka (LGBT) pun memiliki hak dan perlakukan yang sama untuk mendapatkan pelayanan sakramentali gereja, bukan saja sakramen awal seperti permandian di mana kita semua diangkat menjadi anak-anak Allah dalam persekutuan gereja, juga sakramen lainnya sebagaimana yang disediakan gereja sebagai sarana bagi manusia untuk berjumpa dengan Tuhan.
Saya tidak sedang membela gagasan Pater Gusti, karena saya yakin, dia tidak perlu dibela dalam hal otoritas gagasan intelektual, walaupun kontroversial dan cara kalayak ramai menanggapi idenya tidak sedikit pun mempengaruhi apapun yang diharapkan dan diyakininya. Tetapi ada satu perjuangan tiada akhir yang tidak boleh kita tinggalkan, yakni kepastian tetap tegaknya hak asasi manusia yang melampaui sekat-sekat struktur ideologi, agama, politik, ekonomi dan budaya. Karena hal ini disampaikannya dalam forum perjumpaan ilmiah, Pater Gusti sesungguhnya sedang membangkitkan gairah kaum intelektual untuk “keluar” dari cara berpikir picik atau sebaliknya angkuh.
Nah, bagi orang-orang yang tidak terbiasa dan tidak paham dengan dunia diskursus intelektual, maka akan menimbulkan keterkejutan, rasa shock bahkan kemarahan tidak beralasan karena salah menafsirkan pandangan orang lain yang sedang “menggugat” situasi ketidak-adilan dan ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Penting bagi kita dalam menafsirkan sesuatu hal, harus melihat dulu, dalam konteks apa sesuatu perpektif pemikiran itu disampaikan. Dalam perspektif ilmiah juga, apa saja menjadi sangat lumrah untuk di-dialektika-kan dan dunia akademisi baru menampakkan wajah sesungguhnya kalau segala sesuatu yang bersifat “melawan arus” muncul dan menghujam nalar.
Selalu ada banyak fenomena sosial terjadi di sekitar kita nyata tidak berpihak pada keadilan dan kemaslahatan bersama, seperti salah satunya yang dikemukakan Pater Gusti, sehingga begitu diungkapkan dalam bahasa ilmiah banyak yang menjadi terusik dan marah. Jangan lupa, dunia yang sedang kita huni dengan berbagai kemajuan dan keadaannya yang semakin dahsyat ini, tidak terbentuk begitu saja, tetapi lahir dari gagasan-gagasan, begitu juga keadaan gereja Katolik saat ini, tidak terlepas dari lalu-lintas ide yang tidak pernah berakhir.
Kalau mau jujur, apa yang diungkapkan Pater Gusti, menurut saya, jauh lebih menarik membincangkan isi kitab Kejadian yang dikutipnya sebagi tidak lebih dari mitos atau dongeng sebagaimana diungkapkan Dawkins. Bukankah itu lebih “mengganggu” dibanding membicarakan LGBT? Tapi, ya itulah kita, terkadang sulit tetap menjaga kejernihan di antara kekaburan realitas yang sering ternoda. Teori evolusi Dawkins dapat dipertanggungjawabkan sebagai benar dari sudut ilmiah dan tentu bertentangan dengan Kitab Suci terutama Kitab Kejadian yang menggambarkan Tuhan menciptakan langit, bumi bersama segala isinya termasuk manusia pertama. Disinilah iman dan ilmu pengetahuan menjadi sulit bertaut, kadang saling menaruh curiga dan butuh kerendahan hati, keluwesan sikap untuk mendudukkan keduanya “satu meja”.
Sudah lumrah, di segala lapisan generasi, tidak sedikit ide baru yang tidak biasa akan ditanggapi dengan beragam respon yang dangkal karena banyak orang tidak terbiasa memakai kacamata wacana dan dialektika intelektual, namun seiiring kemajuan ilmu pengetahuan dan terjadinya transformasi budaya akibat arus modernisasi, keterbukaan terhadap ide-ide baru cenderung lebih dinamis (lebih terbuka) terutama mereka yang mudah beradaptasi, bergelut atau menyukai dunia akademis dalam tataran kerja-kerja intelektual, minimal pernah mengenyam pendidikan dengan baik.
Ada bahaya besar, ketika orang lalu “tidak sadar” mengambil inisiatif tampil paling depan menantang suatu gagasan baru dengan cara langsung memberi vonis bahkan stigmatisasi pada si empunya gagasan tanpa melihat secara holistik apa yang sedang dipersoalkan, seakan-akan ingin menjadi pahlawan kesiangan. Belum lagi ketika mereka mendapat tempat di ruang media, karena media sendiri kadang absen mengurai seluk-beluk sebuah persoalan secara proporsional dan komprehensif sehingga membias di ruang publik. Maka, bijaksana dalam memahami konteks pesan gagasan menjadi penting sambil membandingkannya dengan berbagai referensi lain yang dapat memperkaya pengetahuan agar kita tidak terjerumus dalam naluri asal bunyi.
Apa yang diungkapkan Pater Gusti, saya kira, merupakan pergumulan intelektualnya sebagai seorang imam dan cendikiawan sekaligus membuka pikiran lebih banyak orang. Selama ini, baik hukum formil negara maupun lembaga agama/adat yang mengesahkan perkawinan, termasuk gereja Katolik merumuskan perkawinan sebagai persekutuan (ikatan lahir batin) antara pria dan wanita untuk membentuk hidup keluarga atau rumah tangga yang bahagia. Gereja menggambarkan pernikahan sebagai gambaran hubungan kasihNya dengan gerejaNya (Ef 5:32). Namun, setidaknya ada 15 negara di benua Eropa saat ini telah melegalkan pernikahan sesama jenis (LGBT) diantaranya Belanda, Belgia, Norwegia, Portugal, Jerman, Prancis dan Austria
Inilah yang menjadi gugatan intelektual Pater Gusti dengan menawarkan perspektif baru bahwa di tengah perkembangan dunia yang begitu pesat, kaum LGBT selalu saja masih mengalami diskriminasi, tersingkir dan terkucil dari komunitas hidup bersama yang seharusnya ada garansi dalam memproteksi hak asasi setiap orang, siapapun mereka tanpa kecuali. Di dalam komunitas hidup bersama itu harus terwujud juga semangat persekutuan umat Allah, termasuk di dalamnya pilihan bebas seseorang untuk membentuk rumah tangga. Gagasan yang mau coba dibangun oleh Pater Gusti ini memang tidak populer, pasti dianggap nyeleneh, tetapi setidaknya akan membuka pikiran banyak orang walaupun dengan beragam bentuk reaksi.
Sebagai sebuah gagasan tentu hal ini tidak salah, sah-sah saja. Kita di Indonesia saat ini, misalnya, hidup dalam laju era kemajuan akibar globalisasi yang sulit dibendung, bukan mustahil suatu saat nanti, kaum LGBT akan semakin banyak bertumbuh dan tidak tertutup kemungkinan akan terjadi seperti yang mereka inginkan di Eropa, mendapat hak untuk dinikahkan dan diakui oleh orang lain dan lembaga agama, dalam hal ini gereja Katolik. Bayangkan saja, bagaimana misalnya, kalau ada anggota keluarga dekat kita, saudara kandung kita misalkan, yang merupakan LGBT dan menghendaki kita mendukung keputusannya menikah dengan sesama jenis, haruskah kita “mengusir” dan menolaknya? Bukankah itu jalan meraih kebahagiaan hidup yang dia pilih walaupun terlihat aneh? Kalau begitu, betapa kejamnya kita memperlakukan dan memaksa mereka untuk berusaha menjadi “normal”, kita yang tidak hanya beragama tetapi juga berbudi pekerti.
Tidak mudah mengurai persoalan ini dengan bijaksana dan obyektif, butuh waktu dan itikad baik dari semua pihak untuk mengkajinya dengan memposisikan diri sebagai orang yang “tidak menghukum sebelum memahami” atau berani jujur mengakui bahwa kita pun yang “normal” ini sebenarnya “tidak normal” menjalani peran hidup. Bahwa ribuan kaum LGBT itu ada, merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri. Tidak mungkin kita “mengebiri” hak-hak mereka, karena mereka juga adalah ciptaan Tuhan yang memiliki hak asasi seperti kita yang lain. Tidak ada alasan kita mengucilkan mereka baik dari kehidupan bernegara, sosial maupun hidup menggereja hanya karena pada diri mereka melekat hak untuk memilih pasangan hidup lalu menikah.
Sempat terbayang, ketika saya menulis artikel ini, kalau sejak dulu dunia tempat kita huni lebih banyak dipenuhi kaum LGBT, mungkin saja mereka lebih bisa menghargai kehadiran kita yang terlihat berbeda di mata mereka, dibandingkan sulitnya kita menghargai mereka dewasa ini. Saatnya kita lebih terbuka menerima dan menghargai berbagai realitas fenomena hidup bersama yang selalu dinamis, termasuk pergulatan gagasan ilmiah yang dikemukakan Pater Gusti.
Bahkan, kalau mesti kita berterus terang, menghalangi dan menghujat pilihan hidup kaum LGBT hanya karena kita merasa sebagai makhluk sempurna tidak lebih jelek dari tingkah laku kita yang terkadang tidak menghargai komitmen sakramen pernikahan yang pernah diterima di depan Altar Tuhan, baik karena perselingkuhan, perceraian maupun kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bukankah tujuan pernikahan adalah bersama-sama meraih kebahagiaan?
Soal kemungkinan gereja Katolik suatu saat nanti melegalkan pernikahan LGBT juga tidak mudah. Seperti sejak dahulu kala, berbagai upaya agar gereja Katolik melegalkan atau merestui eutanasia, teknologi reproduksi, aborsi bahkan agar bisa menahbiskan imam perempuan sampai hari ini buntu, tidak terjadi.Gereja Katolik tentu mempertimbangkan itu semua agar moral iman Kristiani tidak melenceng ke luar jalur sebagai gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik.
Di balik semua itu, kita semestnya kagum, di tengah kemajuan dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak bisa di-rem, sikap gereja Katolik yang tetap teguh sebagai benteng penjaga moral dan iman Kristiani — yang bagi banyak orang terkesan konservatif, muncul seorang pastor muda dan intelektual produktif seperti Pater Gusti dengan berani melontarkan wacana mendorong restu pernikahan bagi kaum LGBT. Saya melihatnya lebih jauh dari sekedar mewacanakan itu, Pater muda ini sedang mengajak kita semua, untuk berani beradaptasi dengan kemajuan zaman sambil tak lupa membaca “tanda-tanda zaman” dan lebih membuka diri menerima berbagai bentuk keberagaman. (Jimmy Carvallo)