Budaya

Elfrin Bout, Jatuh Cinta pada Tari Manggarai

JimmyCarvallo.com– Ratusan mata tak jemu memandang wajah ayu seorang penari yang berdiri paling depan di antara empat penari lainnya. Mereka mengenakan gaun modifikasi Songke, berbaris di depan sepasang pengantin dan rombongan pengantar persembahan.

Sementara, umat yang duduk berjejer memenuhi bangku-bangku gereja Santu Stefanus Iteng, Satar Mese spontan memalingkan wajah ke arah belakang, ketika tarian persembahan baru saja dimulai.

Hari itu, Jumat, 5 November 2021 sore. Gemulai tarian persembahan yang dibawakan para anggota Sanggar Molas Bali Belo memukau, menarik perhatian jemaat (umat) yang mengikuti misa pernikahan.

Beberapa ponsel milik umat mulai diarahkan pada mereka, di sepanjang lorong tengah menuju altar. Cekrek..cekrekcekrek.. suara kamera ponsel berpadu kilatan-kilatan cahaya blitz seakan beradu disela-sela alunan musik dan lagu yang mengiringi tarian.

Di barisan penari paling depan, Amelia Juliani Elfrin Bout terus berlenggak-lenggok, melangkah menuju dekat altar, mengikuti irama musik dan dendang koor yang gegap gempita menyemarakan suasana. Elfrin, sapaan gadis 23 tahun itu, sambil menari, terus melemparkan senyum manisnya kepada siapa saja yang memandang kepadanya.

Elfrin saat masih menjadi mahasiswa di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. (Dok. Pribadi)

Anak pasangan Willibrodus Bout dan Yuliana Sanuri ini, lahir di Kupang, 12 Juli 1998. Usai menamatkan pendidikannya di SMAN I Langke Rembong, Ruteng, Elfrin lalu menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Ekonomi Pembangunan, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Sejak masih bersekolah di SDK Santa Theresia Ruteng V, Elfrin telah mulai menyukai tarian. Ibarat buah tak jatuh jauh dari pohonnya, bakat menari yang mulai ditekuni, ternyata turun dari sang ibu, Yuliana, yang juga sejak kecil tekun mengembangkan talenta menari.

“Sebagai orang tua, kami selalu mendukung dia untuk menari, meningkatkan kempuannya menari. Dia ikut bakat saya. Dari kecil dulu, waktu masih di Sekolah Dasar, saya juga suka menari. Di keluarga besar kami, sepupu-sepupunya banyak yang suka menari,” kata Yuliana, ibunda Elfrin yang berprofesi guru di SMA Negeri I Langke Rembong.

“Di SDK Ruteng V dulu, saya sudah biasa ikut menari di acara-acara seperti saat acara pameran atau acara HUT Kemerdekaan di Ruteng. Terlebih waktu ikut kegiatan Sekami. Sering juga ikut banyak pentas menari waktu masih kecil,” kisah Elfrin, di rumahnya, permukiman warga Kampung Maumere di Ruteng, kemarin siang.

Bakat menari dikembangkannya lebih serius ketika menjadi pelajar SMP, dengan mulai bergabung ke Sanggar Molas Bali Belo yang diasuh pegiat seni tari, Yovita Erni Jem. Ibunda Elfrin kebetulan sahabat akrab dengan guru yang juga pemilik sanggar tersebut, yang bermarkas di Jalan Gewak II, Tenda. “Sering diajak oleh mama, dulu, pesiar ke Sanggarnya Ibu Erni, sehingga kami sudah saling kenal,” tambahnya.

Elfrin (paling kiri) saat foto bersama dengan teman penari lainnya di halaman Gereja Santu Stefanus Iteng. (ist)

Sejak SMP, Elfrin mulai lebih intens dan bersemangat mengikuti jam-jam latihan, menjadi penari di Sanggar Molas Bali Belo. Bersama penari lainnya yang sama-sama remaja, mereka berlatih aneka Tari Manggarai. Berbagai event pernikahan, Misa Sulung Imam Baru dan berbagai acara seremonial lain diikutinya. Ia tampil dengan gembira, penuh semangat dan senang.

“Setelah bergabung dengan Sanggar Molas Bali Belo, saya rasa senang. Seru juga. Hampir semua teman penari sudah saya kenal baik. Mereka kakak-kakak kelas, kebanyakan sudah SMA waktu itu. Dengan anaknya Ibu Erni juga sudah kenal baik, dia juga salah seorang penari di sanggar,” cerita Elfrin, mengenang kembali kedekatannya dengan sanggar.

“Elfrin memang sejak kecil sudah kelihatan bakat menarinya. Waktu SD dia sudah sering berada di sanggar dan ikut latihan. Ada tarian Tiba Meka, Tarian Dedang atau Tari Tenun, Tarian Pua Kopi dan tarian-tarian untuk keperluan liturgi gereja. Jaman mereka masih awal-awal gabung di sanggar, itu tarian yang sering dilatih. Elfrin termasuk yang cepat menguasai tarian-tarian itu,” kata Yovita Erni, pemilik Sanggar Molas Bali Belo.

Tahun 2010, Sanggar Molas Bali Belo resmi berdiri, tepat di Hari Valentine. Nama Molas Bali Belo, menurut Erni, diambil dari maknanya sebagai filosofi orang Manggarai. Bali Belo, merupakan sebentuk mahkota hiasan pada kepala seorang wanita Manggarai.

“Dengan memakai bali belo, perempuan Manggarai sesungguhnya, tidak hanya cantik secara fisik, tetapi juga cantik hati, karakter dan tutur katanya,” sambung Erni.

Ketika menjadi siswi di SMA Negeri I Langke Rembong, Elfrin yang berzodiak Cancer, penyuka warna abu-abu dan biru, terus menari di pelbagai acara yang dimeriahkan Sanggar Molas Bali Belo. Bahkan, saat  menjadi mahasiswa di Universitas Atma Jaya di Yogyakarta, dia seakan tak ingin berpisah dengan dunia tari.

Baca Juga : Firan Tani, Dua Novel Satu Impian

Baca Juga : Lebih Dekat Dengan Citra, Paskibraka Cantik Dari Labuan Bajo

Baca Juga : Konrad Jeladu, Seniman Labuan Bajo Kreatif Di Tengah Pandemi

“Di Yogyakarta kami ada komunitas mahasiswa NTT. Biasa disebut Komanta, Komunitas NTT Atma Jaya. Kalau ada kegiatan pagelaran budaya, biasanya kami ikut tampil membawakan tari-tarian. Selain itu, kami biasa menari di gereja-gereja. Ada juga yang namanya, Ikatan Keluarga Manggarai Raya yang biasa ikut membuat kegiatan pagelaran budaya. Kami selalu aktif di kegiatan-kegiatannya,” kisahnya.

Dia dan mahasiswa lain, para penari, acapkali diundang dari berbagai kampus untuk menari. Mereka mengisi acara-acara yang dihelat sejumlah kampus, termasuk mementaskan tarian, mengisi acara pagelaran budaya komunitas NTT atau Ikatan Keluarga Manggarai Raya yang pernah diselenggarakan di beberapa kota, seperti di Madiun dan Semarang.

“Kalau di kampus, tidak ada yang latih. Tiidak ada koreografer. Kami melatih tarian sendiri. Kami kolaborasi dengan teman-teman mahasiswa dari wilayah lain di NTT, seperti dari Kefa, Kupang, Ende dan daerah lainnya. Kami gabung dan menciptakan tari kreasi,” tuturnya mengenang pengalaman menari bersama teman-teman kuliah.

Yuliana Sanuri, ibunda Elfrin yang selalu memberikan dukungan baginya untuk mengembangkan bakat menari.(Dok. Pribadi)

Elfrin belum bisa sama sekali meninggalkan bakat menari. Sepulang dari Kota Gudeg, waktu luangnya masih dia bagikan di Sanggar Molas Bali Belo. Dia bercerita, ada sedikit rasa risih, ketika anggota penari lainnya saat ini, kebanyakan pelajar SMA, bahkan SMP. Sementara dia, telah menjadi seorang sarjana.

“Belakangan kadang sesekali, karena saya juga fokus mencari pekerjaan. Tapi, kalau dipanggil oleh Sanggar, pasti saya ikut menari. Gabung dengan adik-adik penari juga asyik, pokoknya dibawa happy saja. Kami semua tertarik menari. Di sanggar ada sisi latihan disiplin waktu dan komitmen juga. Itu yang saya suka,” tuturnya.

Dengan menari, cerita Elfrin, dia bisa mengekspresikan diri. Selain itu, rasa percaya dirinya ikut dibentuk melalui bakat tari. Dalam setiap gerakan tari, dia menghayati seni. Di setiap ragam yang membutuhkan keseragaman gerak diantara semua penari, ia belajar arti kerja sama, kemandirian dan fokus.

Fokus. Ya, kata itu juga yang sedang bergema tak henti dalam hatinya sejak meraih gelar sarjana dari Universitas Atma Jaya. Beberapa bulan kembali tinggal di Ruteng, ia sedang fokus mendapatkan pekerjaan, yang seperti tarian, sebagai medium aktualisasi potensi diri, menghargai perjuangan panjang usahanya mengejar ilmu sampai ke negeri jauh dan mewarnai hidup dengan kemandirian.

Elfrin, gadis suka menari yang murah senyum. Kecintaannya pada dunia Tari masih terus ada, sejak ia bergabung di Sanggar Molas Bali Belo. (Chomabee)

Moto hidupnya sejak dulu, selalu dijadikan nahkoda yang mendayung cita-citanya hingga kini : satu-satunya hal yang tidak bisa di daur ulang adalah waktu yang terbuang sia-sia. Di Sanggar, ia menambah jumlah pertemanan yang semakin banyak, semakin percaya diri tampil di depan banyak orang dan yang tak kalah penting, selalu senyum dengan semua orang.

Orang pandai sering berujar, senyum adalah jalan tersingkat untuk mempertemukan banyak hati. Dan jalan itu yang selalu dilalui Elfrin sejak kecil. Antara menari dan senyuman ibarat sekeping mata uang yang tak terpisahkan.

Seperti saat senja di awal November, di sebuah lorong gereja di Iteng, ia telah menarik perhatian banyak orang. Karena tarian dan senyuman. (Jimmy Carvallo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button