Sosok

Feri Adu, Aktivis Perlawanan Tanpa Kekerasan dari Manggarai Barat

Sebuah rak bercat coklat berbahan papan dengan 4 tingkat dipenuhi barisan panjang buku. Sebagian besar buku-buku bertema hukum. Di ruang tamu berukuran 5×10 meter, cukup besar, rak buku itu membatasi pemandangan ke arah kamar-kamar keluarga.

Rumah yang asri dengan taman cukup luas di depannya, terletak di Jalan Trans Flores Labuan Bajo. Tak jauh dari Hotel Centro Bajo. Dari jendela rumah, hotel berlantai 2 itu terlihat jelas. Di halaman rumahnya terparkir 2 Jeep tua yang dulu sering dipakainya berdemonstrasi. Satu berwarna putih dan satu lagi hitam. Saksi bisu kehebatan nyali seorang pemuda kelahiran 17 Desember 1968.

Di rumah dengan pohon Mangga rimbun di depannya, Florianus Surion Adu, 52 tahun, akrab disapa Feri, tinggal bersama istri dan anak-anaknya. Sejak tahun 2004 ia menghuni rumah tersebut. Setahun setelah Manggarai Barat menjadi kabupaten defenitif. Sebelumnya, ia tinggal nebeng bersama orang tua.

Feri Adu (tengah) saat berorasi pada demonstrasi tolak tambang di Labuan Bajo, Manggarai Barat tahun 2010. (Foto : dok. Pribadi)

Feri, ayah dari 3 anak, sejak dulu dikenal sebagai aktivis pergerakan sosial. Gaya berpakaiannya selalu menarik perhatian, bahkan sampai sekarang. Topi ala koboi, rompi, sepatu lars. Bertambahnya umur, tak merubah jiwa mudanya. Jiwa seorang aktivis dengan segudang pengalaman membela hak-hak masyarakat Manggarai Barat.

Awalnya, tahun 1989 ia bergabung sebagai aktivis pergerakan di Makasar, Sulawesi Selatan. Nama organisasi itu, Forum Kota Makasar (Forkomas). Demonstrasi menolak penggunakan helm sempat ia ikut. Para pengusaha helm kala itu, diduga ikut kongkalingkong pengadaan helm. Sejak bersekolah di SMA kelas 2 dia telah menginjakan kakinya di Makasar.

Tahun 1990, Feri kembali ke kampung halaman di Labuan Bajo. Ditinggalkannya tanah rantau, bumi Anging Mamiri. Awal kembali tinggal di Labuan Bajo, penyuka tarik suara ini bekerja sebagai sopir angkot. Setiap hari ia mengelilingi Labuan Bajo menaikan dan menurunkan penumpang.

Sebagai aktivis, Feri selalu gelisah melihat berbagai ketimpangan yang terjadi di Manggarai Barat. Foto ini memperlihatkan Feri saat berunjuk rasa menolak tambang. (Foto : dok Pribadi)

Ayahnya, Yosep A. Adu adalah pensiunan ASN di Labuan Bajo. Feri adalah anak ke 2 dari 7 bersaudara. Tahun 1995, ia menjadi koordinator lapangan (korlap) rentetan aksi demonstrasi penolakan kehadiran lembaga The Nature Conservation (TNC). Aksi itu yang paling panjang dari segi durasi waktu. Sampai tahun 2006 saat Pansus DPRD (pertama) Mabar.

“Konsep pemberdayaan terhadap masyarakat khususnya di kepulauan dalam kawasan TNK kontradiktif dengan MoU yang disepakati antara TNC dengan Kementerian Kehutanan. Pendekatan pengamanan kawasan TNK yang disponsori TNC lebih pada kekerasan pada warga nelayan yang mencari nafkah hidup di sana,” kisah Feri, saat ditemui di rumahnya, Kamis, 17 November 2022.

Feri pernah mengikuti pelatihan Konservasi Tingkat Madya dari Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan. Ia pun menjabat Ketua Kader Konservasi BTNK. Ia selalu peduli dengan kelestarian lingkungan alam dan konservasi.

“Kami berhasil mengusir TNC dengan perlawanan tanpa kekerasan. Itu perlawanan terlama dan berhadapan dengan lembaga yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan memang tidak mudah. Perjuangan atau pergerakan harus lahir dari komitmen yang kuat dan tulus,” kata Feri.

Jeep yang selalu menemani ktivitas kesehariannya di Labuan Bajo. Kendaraan ini juga sering ia gunakan saat melakukan aksi demontrasi bersama rekan-rekannya. (Foto : dok Pribadi)

Setelah TNC angkat kaki dari Manggarai Barat pada tahun 2006, lembaga ini lalu digantikan oleh PT Putri Naga Komodo. Usianya pendek. Hanya 1 tahun. Komunitas pergerakan yang dikomandoi Feri, bernama Himpunan Nelayan Bersatu (Nuansa) bersama Angkatan Muda Pro Reformasi (Ampar) kembali bergerak.

Mereka berdemonstrasi menolak konsep kolaboratif manajemen PNK yang dinilai menswastanisasi aset stategis negara, yakni kawasan konservasi TNK.

“Demonstrasi kami lakukan dari Labuan Bajo sampai Jakarta. Gerakan kami buat juga dalam strategi gerilya, dengan membangun link tidak hanya di Labuan Bajo, tapi juga di Jakarta dan luar negeri. Utusan dari Menteri Kehutanan, Pak Made Subadya datang bertemu kami di Labuan Bajo dan dihadiri Bupati (Anton Bagul Dagur, Red.) bertempat di Hotel Ecolodge,” kisah Feri mengenang.

Feri Adu saat menyerahkan dokumen bukti pelanggaran yang dilakukan TNC di Labuan Bajo kepada Komisi IV DPR RI di Jakarta. (Foto : dok Pribadi)

Dari diskusi terbatas itu, Feri menyodorkan argumentasi berbasis data. “Seluruh aktivitas yang dilakukan TNC sebelumnya dipaparkan. Putri Naga Komodo (PNK) itu adalah lembaga konservasi sebagai join venture TNC dengan PT Putrindo Utama. Kami menolak keras kehadiran PNK. Selain konsep pengelolaan juga karena keberadaan TNC di dalamnya. Itu hanya ganti baju doang!” kata Feri.

Mendekam di Penjara, Tetap Konsisten Berjuang

Bersama penolakan terhadap TNC dari wilayah TNK, ada peristiwa penting lain yang kembali “memanggil” Feri Adu untuk berdemonstrasi. Peristiwa pemekaran Kabupaten Manggarai Barat yang mulai bergema tahun 2000. Ia menjabat Sekjen Setber Pemuda Masyarakat Mabar (PM-MB). Ujungnya, sebanyak 25 aktivis ditangkap aparat keamanan di Kantor eks Pembantu Bupati Mabar (sekarang Dinas PPO).

Feri Adu (paling kiri) saat menghadiri audensi dengan Komisi IV DPR RI membahas Taman Nasional Komodo di Jakarta 7 Juni 2006. (Foto : dok Pribadi)

Feri sebagai korlap dan 5 aktivis lainnya menjadi tahanan titipan di rutan Carep di Ruteng selama 28 hari. “Kami diminta menandatangani sebuah surat yang intinya meminta aktivis berhenti memperjuangkan pemekaran Manggarai Barat. Kami tegas menolak. Apapun resikonya,” cerita Feri.

Mereka pun dibebaskan dari tahanan rutan Carep. Kejadian tahun 2002 itu selalu dikenangnya sebagai resiko dari sebuah perjuangan di dunia pergerakan, tanpa harus mundur selangkah pun. Pada tahun 2002, Bupati Manggarai (Anton Bagul) menandatangani Surat Rekomendasi Persetujuan Pemekaran Manggarai Barat.

Surat itu dikirim ke Dewan Pertimbangan Otda di Jakarta. Feri terus terlibat dalam episode-episode itu hingga 27 Januari 2003 saat pleno penetapan UU No 8/2003 tentang Pemekaran Mabar sebagai kabupaten defenitif.

Tolak Tambang Demi Kelestarian Alam

Di kemudian waktu, tahun 2009, bara api semangat perjuangan Feri bertambah, saat berjumpa dengan Pater Marsel Agot, SVD. Pastor aktivis lingkungan ini, ikut dalam aksi pendekatan kepada Bupati Mabar (Fidelis Pranda) terkait penolakan di sektor pertambangan. Saat itu, Bupati Fidelis mengeluarkan beberapa IUP di wilayah Mabar.

Feri Adu saat berorasi menolak tambang yang dijaga ketat aparat keamanan di Kantor Bupati Manggarai Barat pada tahun 2010. (Foto : dok Pribadi)

“Argumentasi yang kami sampaikan, topografi Mabar tidak layak untuk dijadikan lahan pertambangan. Karena SDAnya berorientasi pada sektor pariwisata seperti Kawasan TNK. Bupati mentahkan argumentasi kami. Mabar katanya saat itu, butuh sumber PAD yang besar,” kisah Feri.

Kebuntuan dialog itu berlanjut pada aksi demonstrasi penolakan tambang pada tahun 2010. Selain Feri, ada juga sejumlah imam yang ikut aksi, seperti P. Marsel Agot, SVD, RD Robert Pelita, JPIC Keuskupan Ruteng, Walhi NTT, Jatam dan beberapa elemen lainnya.

Wadah perjuangan mereka bernama Gerakan Masyarakat Anti Tambang (GERAM). Feri didaulat menjadi Ketua GERAM sekaligus memimpin berbagai aksi penolakan tersebut. Masa yang bergerak bahkan mencapai 8 ribu orang saat menduduki Kantor Bupati. Ujungnya, buah gerakan itu, rezim Bupati Fidelis berganti. Kalah dalam Pilkada Mabar 2010. Isu penolakan tambang menjadi senjata pamungkas.

Alhasil, dicabutlah semua IUP melalui moratorium tambang oleh Bupati baru terpilih, Agustinus Christian Dula. Sejak itu, Mabar pun sepi dari aktivitas pertambangan yang melukai kulit dan mendongkel isi perut bumi yang bakal menyimpan kesuraman masa depan alam dan generasi manusia.

Massa aksi tolak tambang yang berjumlah ribuan orang saat menyeruduk Kantor Bupati Manggarai Barat. GERAM yang dipimpin Feri Adu menolak pertambangan di Mabar karena merusak lingkungan alam. (Foto : dok. Pribadi)

“Merubah sebuah kebijakan penguasa, bukanlah pekerjaan mudah. Tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh kerja sama multi pihak, konsisten dan selalu siap menghadapi apapun. Jangan pengecut. Roh perjuangan tidak boleh digadaian, sehingga perjuangan tercapai,” tambah Feri sambil menyodorkan secangkir kopi hitam kepada saya.

Kini, dia tetap aktif dalam kelompok-kelompok diskusi dan terus memantau berbagai perkembangan dan ketimpangan yang ada di Manggarai Barat. Sebagai aktivis, ia tak sepi dari kontroversi. Dari sudut mana orang menilai, itu tak membungkam gema teriakannya.

Feri yakin, bahwa di balik setiap sikap kritis terhadap derap laju pembangunan dengan menapaki jalan perjuangan tanpa kekerasan, ada harapan Mabar akan semakin bermartabat dan memiliki masa depan yang, niscaya lebih baik. (Jimmy Carvallo)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button