
LABUAN BAJO– Di tangga-tangga kecil Dermaga Philemon Labuan Bajo, Manggarai Barat yang sebagiannya samar-samar masih terlihat berdiri kokoh di atas deburan kecil ombak menuju lepas pantai, perlahan saya menuruninya dan berjalan menuju sekoci berwarna biru yang sudah merapat. Dari kejauhan kumandang adzan magrib mulai terdengar membelah langit langsat kecokelatan, Rabu, 18 Agustus 2021 menjelang malam. Di antara puluhan boat yang sedang berlabuh, Mohammad Baharudin, mempercepat laju sekocinya membawa saya membelah lautan menuju sebuah Kapal Pinisi.
Baca Juga : Bersyukur Menjadi Guru Taman Kanak-Kanak
Baca Juga : Kisah Pilu Akhir Hidup Cici, Transpuan yang Murah Hati
Sekitar sepuluh menit perjalanan ke arah barat, dari kejauhan, di antara jejeran puluhan kapal dengan kerlap-kerlip lampu berwarna-warni indah, nampak sebuah Kapal Pinisi berlabuh. Bunyi mesin listriknya mulai terdengar jelas, sementara tiga orang kru kapal semakin terlihat jelas sedang duduk di anjong, bagian pada ujung depan kapal yang berbentuk kerucut.

Setelah sekoci berputar setengah lingkaran dan merapat ke belakang pintu masuk kapal, Sallahudin, 40 tahun, seorang pria berperawakan tinggi dan agak kurus mengulurukan tangan kanannya menarik lengan saya menaiki kapal. Saya mengenalnya 7 tahun lalu di Labuan Bajo. Kala itu ia telah menjadi seorang guru PNS yang mengajar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Labuan Bajo. Pembawaannya tenang, kalem tetapi penuh semangat.