
Sejak tahun lalu, sebagian pekerja seni di Bali, menyiasati pandemi Covid-19 dengan adaptasi kreatif dan inovatif, termasuk memakai jalan promosi secara virtual. Hal ini mereka lakukan untuk bisa tetap bertahan dan terus berkarya di tengah gempuran pandemi walaupun menghadapi kesulitan dalam memasarkan karya-karya seninya karena daya beli masyarakat berikut permintaan pasar global dimana-mana menurun.
Sebulan lagi pariwisata Bali akan dibuka untuk kedatangan wisatawan manca negara (wisman). Ribuan akomodasi, baik hotel bintang maupun non-bintang, termasuk restoran, museum dan obyek wisata yang ada telah mengantongi dan siap menerapkan sertifikat Cleanliness, Health, Safety dan Environtment Sustainability (CHSE). Ketika wisatawan manca-negara datang mengunjungi Bali, maka destinasi pariwisata lainnya harus pula menyiapkan diri menerima arus kunjungan itu, seperti Lombok dan Labuan Bajo. Tentu dengan menjadi “tuan rumah” yang bisa memberi kenyamanan kepada para traveler dengan kualitas pelayanan berstandar prokes 3M, penguatan 3T dan vaksinasi para pekerja di sektor jasa pariwisata.

Tanpa itu semua, dipastikan wisatawan akan “angkat kaki” dari destinasi wisata kita, karena bagaimanapun kenyamanan dan keamanan menjadi unsur penting dalam turisme. Pengendalian kasus Covid-19 di daerah-daerah tujuan wisata unggulan seperti Bali, Lombok dan Labuan Bajo (saya lebih suka menyebut ketiga destinasi ini sebagai segi tiga fantastik) harus menjadi kerja bersama lintas sektoral, stakeholder agar masyarakat di semua destinasi memiliki kesadaran dan kepatuhan akan protokol kesehatan. Tanpa itu, pariwisata kita sulit bangkit, tetap terpuruk, bukan lagi karena pandemi Covid-19, tetapi akibat ulah kita yang sembrono. (Jimmy Carvallo)
jqfpfa