
Oleh : Markus Makur
Dosen Unika Santo Paulus Ruteng, Dr Mantovanny Tapung sangat ceria, energik, suka senyum. Cerdas karena sejak Kelas I Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Menengah Atas ditempa. Dibina. Didampingi. Dididik di Sekolah Seminari Pius XII Kisol, Kelurahan Tanarata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Siapa tidak mengenal seminari Pius XII Kisol.
Warga dunia selalu menceriterakan. Mengagungkan. Mengagumkan lembaga pendidikan Calon Imam di Keuskupan Ruteng. Yang masuk dan sekolah di Seminari Kisol atau seminari lain di Pulau Flores dan NTT menerima siswa kelas VI yang sangat cerdas di kelas. Apakah ini sebuah keberhasilan, entahlah. Mengapa tidak mendidik dan menerima anak-anak kelas yang memiliki kemampuan kurang. Entahlah.
Semua punya kriteria. Bahkan mungkin tidak bisa dikritik. Jika dikritik sistem pendidikan di seminari, semua alumni pasti membela dengan berbagai argumentasi yang membenarkan. Pertanyaan saya, apakah Tuhan Yesus saat memilih dan memanggil, serta menentukan muridNya karena kecerdasan. Tentu jawabannya membutuhkan riset historis di Israel.
Sampai disini titik membahas pendidikan Seminari. Sebab tulisan ini tidak mengambil tema tentang lembaga pendidikan Seminari melainkan output dari lembaga tersebut.
Ribuan sosok yang ditempa di lembaga itu memiliki prestasi, kesuksesan luar biasa. Saya tidak memiliki data tersebut sebab saya bukan alumni dari lembaga tersebut.
Dari sekian ribu alumni di sekolah itu, baik yang imam maupun berprofesi bukan imam adalah Sosok Dr Mantovanny Tapung, Dosen Unika Santo Paulus Ruteng. Hanya sebagian kecil orang didunia ini meraih gelar akademik doktor. Bergengsi karena kemampuan sumber daya manusia yang lebih.
Ini kali kedua saya menarasikan tentang Dr Mantovanny Tapung. Entah siapa yang membisik saya untuk menulis tentang dia. Tapi seperti air sungai mengalir. Muncul begitu saja sosok Manto Tapung di mata saya yang berprofesi sebagai jurnalis di bumi Nusalale. Tulisan ini bukan hendak memuji Dr Manto Tapung. Selanjutnya dalam tulisan ini saya singkat menyebutnya MT.
Malam, Kamis, (23/12/2021) sosok MT muncul begitu saja dan meminta alam bawah sadar saya menarasikan keberpihakannya pada penderita disabilitas mental, walaupun sebatas kunjungan beberapa kali. Bahkan topik dari narasi singkat ini adalah Sosok Dr MT di hati penderita disabilitas mental di bumi Manggarai Raya. Entahlah siapa yang menggerakkan dia untuk memiliki kepekaan sosial untuk berpihak kepada penderita disabilitas mental.
Hanya MT yang mengetahuinya. Saya punya akan mengira-ngira saja. Entahlah apa yang membuat dia rela, sukacita, bahagia, peka, empati sosial bagi sesama yang selama ini disingkirkan dalam berbagai kebijakan dan program Pemerintah.
Ia adalah calon Imam diosesan Keuskupan Ruteng. Sebagaimana saya ketahui sedikit jejak hidupnya. Saya pernah melihat fotonya di dokumen Paroki Santo Arnoldus Janssen dan Josef Freinademetz Waelengga dengan memakai jubah putih. Itu berarti bahwa dia pernah menjalankan masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP). Kalau saya maknai lain kata top, berarti orang hebat, berprestasi, orang sukses. Tapi TOP disini beda. Mempersiapkan diri menjadi imam.
Belajar dan mendalami ilmu filsafat, logika. Bahasa, ilmu politik, ilmu sosial. Analisis sosial. Dan ilmu lainnya. Bahkan mempertanyakan ilmu filsafat itu dalam kesehariannya. Tuhan yang dia imani memilih jalan lain baginya untuk menjadi Dosen. Awam intelektual.
Dia memutuskan untuk menemukan Tuhan bukan di meja altar melainkan di lembaga pendidikan. Dia berada ditengah mahasiswa-i serta sosial kemasyarakatan serta diantara sesama akademi yang handal di wilayah ini.
Ilmu yang diperolehnya didistribusikan kepada sesama lewat jalur pendidikan. Jadi peneliti sosial, politik, budaya.
Saya mengenal dia lewat berbagai artikel ilmiah, buku hasil karyanya, opini di berbagai media massa di Indonesia. Jadi pemateri dimana-mana. Jadi moderator dalam berbagai seminar, debat ilmiah.
Saya mendalaminya sepintas saja ketika MT mengunjungi penderita disabilitas mental di Kampung Waebok, Kelurahan Ronggakoe, Kecamatan Kota Komba, oktober 2020. Saat itu bersama Uskup Ruteng, Mgr Siprianus Hormat, rekan dosen, Dr Max Regus, Pr serta beberapa imam dan awam. Saat itu situasi sangat sulit dengan pandemi Covid19. Waktu mereka bergabung di Tim Darurat Caritas Omnia In Caritate sebagaimana motto tahbisan Uskup Ruteng, Mgr Siprianus Hormat.
Peristiwa perjumpaan pertama kali karena mereka mengandeng relawan Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Orang Dengan Gangguan Jiwa Kabupaten Manggarai Timur yang sudah lebih dulu melayani, mengunjungi, menyuarakan, mengedukasi penderita Disabilitas Mental disingkat DM.
Saling tukar pikiran, tukar informasi berkaitan dengan ODGJ yang sangat diabaikan oleh lembaga Gereja dan Pemerintah. Sebagai anggota Gereja, relawan KKI sudah melayani ODGJ dengan kerelaan hati. Tidak banyak yang menyuarakan untuk penanganan mereka (baca ODGJ). Bahkan sebagaimana yang saya peroleh informasi bahwa ada warga, umat yang meninggal dunia dalam pasungan. Siapa yang berdosa disini. Semua kita kena dosanya.
Secara interaksi sosial, saya kurang dekat dengan Dr MT. Tapi saya sedikit mengenal hatinya lewat perjumpaan langsung di lapangan sosial.
Tiga Kali Berjumpa Dengan Dr Mantovanny
Ia menyapa saya dengan sebut Ase Markus karena usia yang berbeda. Sapaan akrab sebagai orang Manggarai. Saya pun menyapanya dengan sebutan Kae Manto. Komunikasi kami setara. Tidak ada sekat karena gelar akademi.

Perjumpaan pertama di Paroki Santo Arnoldus Waelengga. Kedua di Ruteng. Ketiga di Kecamatan Borong.
Ada yang unik di Borong dan Kota Komba. Kami berjumpa dalam kepedulian dan keprihatinan yang sama. Saya ingat kalimat sewaktu seminar di Kampus Unika Santo Paulus Ruteng dengan bahasa inggris, Kita harus berani Out of the box. Kita harus berada ditengah masyarakat.
Rabu, (22/12/2021), seorang dosen dengan gelar akademi tinggi turun gunung. Pastoral present, pastoral care, bukan pastoral absent. Terik matahari siang itu tidak mematahkan semangat kami untuk menyapa penderita gangguan jiwa yang dipasung dan yang pulih. Hari itu ia dibonceng oleh mahasiswanya. Ia memakai jaket, memakai topi kesukaannya. Celana panjang. Berwibawa. Saya kagum dengan kerendahan hatinya.
Ia berani menunggu saya di Coffee For Rest di Seputaran Jawang. Ini sangat luar biasa. Doktor yang membumi. Bahkan dengan kendaraanya menjemput saya di depan Kantor Polsek Borong. Saya bertanya siapakah saya ini sampai ia meminta mahasiswanya menjemput saya? Saya bukan siapa-siapa.
Hari itu kami mendistribusikan kado Natal dari orang baik untuk mereka (ODGJ) yang pulih dan dipasung. Saya mendampinginya untuk melihat dengan mata hati akan penderitaan mereka (baca ODGJ).
Semoga dengan pastoral present mengingatkan dia untuk sama-sama berjuang. Bersuara lantang dengan hasil riset lapangan. Pertama ia berjumpa dengan Semi di Kampung Longko, Om Rikardus di Kampung Jengok dan bertemu anggota keluarga di Kampung Kembur. Selanjutnya ia meneruskan perjalanan ke Desa Golo Ndele untuk menjumpai mahasiswanya yang sedang KKN.
Sebagaimana yang saya amati, ia sangat ramah untuk menyapa ODGJ yang dipasung maupun yang pulih. Ia banyak melihat. Ikut merasakan penderitaan sesama dihatinya.
Melawan Budaya Manggarai
Sepintas amatan saya di lapangan sosial. Ia perlahan-lahan memberikan keteladanan bahwa gelar akademik yang tinggi harus diaplikasikan dalam gerakan sosial dengan berada di tengah orang yang sedang menderita. Ia tidak gengsi. Sebagaimana budaya orang Manggarai bahwa apabila seseorang yang meraih kesuksesan dengan gelar akademik tinggi hanya sedikit yang berani terjun ke lapangan. Istilahnya turun gunung. Menyatu dengan masyarakat yang sedang mengalami penderitaan sosial.
Entah apa hasil refleksinya setelah melihat langsung, perjumpaan langsung. Saya hanya menunjukan jalan baginya. Kiranya ia bisa bersuara dengan caranya demi membela dan memulihkan martabat manusia yang setara dengan yang lainnya.
Kerja Kolaborasi Inklusif
Untuk menyuarakan pembelaan dan memulihkan mereka dari derita dibutuhkan moderasi kerja kolaborasi inklusif. Tidak bisa kerja sendirian. Kerja kolaborasi inklusif mampu mengangkat sesama yang rapuh kepada kesetaraan martabat manusia yang sama.
Era globalisasi dengan kerumitan, kesulitan dan tantangan yang luar membutuhkan orang-orang yang memiliki hati untuk kerja kolaborasi inklusif. Tidak zamannya lagi kerja eksklusif. Kita harus berani menjadi eksekutif yang bijak, legislatif yang berpihak serta yudikatif yang menegakan kebenaran dan keadilan sosial.
Selamat berjuang Dr MT. Maafkan saya menarasi ini. Saya pernah berkelakar dengan ilustrasi ubi jalar dan ubi kayu. Saya sempat sebut “Ubi Jalar Dr Manto” seumpama dengan ubi jalar yang selalu merambah dan menghasilkan umbi-umbian jalar. Maafkan saya atas kelancangan ini. Tidak ada maksud lain dari perumpamaan saya ini.
Saya berharap kita sama-sama bersuara. Berjuang demi memulihkan sesama yang sedang dipasung dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam refleksi saya, orang yang sudah dikunjungi pasti menyimpan nama Dr MT dalam hati mereka. Dalam obrolan lepas saya dengan Dr MT bahwa institusi Gereja sebaiknya memiliki program prioritas untuk mendampingi ODGJ agar pulih.
Era global saat ini bahwa ODGJ itu semacam domba yang hilang dari induknya. Untuk kita harus mencari, mengunjungi, mendampingi sampai domba itu ditemukan, dirawat hingga pulih, bahkan pada akhirnya sembuh.
Saya pernah menulis opini di media voxntt.com beberapa tahun dengan judul: Nusa Terus Terpasung. Sebaiknya kita menjadi palungan bagi sesama sebab Sang Guru Kita sudah lebih dibaringkan dalam sebuah palungan.
Selamat merayakan Natal, 25 Desember 2021. Natal- Nasehat Allah tolong dilaksanakan.
(*Markus Makur adalah seorang jurnalis dan aktivis di Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Orang dengan Gangguan Jiwa, Mangarai Timur.