
RUTENG – Riuh tepukan tangan dan sorak sorai penonton terdengar membahana, memecah kesunyian di dalam Gereja Santa Maria Asumpta Kathedral Ruteng, 25 September 2019 ketika Paduan Suara Kategori Dewasa Campuran dari Paroki Santo Mikhael Kumba mengakhiri lagu wajib Worthy is The Lamb di hadapan hampir seribu umat yang memenuhi gereja.
Sore itu merupakan babak final yang mempertemukan para jawara dari babak penyisihan sebelumnya. Event bergengsi tingkat Kabupaten Manggarai bertajuk Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) berlangsung selama 4 hari. Acara yang baru pertama kali dihelat di Manggarai tersebut sekaligus menobatkan Paduan Suara Paroki Santo Mikhael Kumba sebagai juara umum Pesparani.
Suara Kasih. Nama paduan suara di Paroki Kumba ini sudah tidak asing lagi di telinga umat Katolik Keuskupan Ruteng, terutama di beberapa paroki dan tempat yang pernah mereka datangi mempersembahkan suara emasnya pada acara-acara gerejani. Berdiri sejak tahun 2009, Suara Kasih dirintis oleh tiga penyuka seni tarik suara, yakni Mikhael Dales, Bius Galmin dan Marsel Jemahut.
Sebelumnya Marsel dan Bius pernah bergabung memperkuat paduan suara Serafim di Wilayah II Paroki Kumba yang dikemudian hari bubar karena sejumlah anggotanya sibuk dan pindah kota tempat tinggal. Dalam kevakuman cukup lama inilah, keduanya lalu mendekati Mikhael mengutarakan niat untuk membentuk wadah baru tempat tereka bisa terus menyalurkan bakat menyanyi.

Dari pertemuan ketiganya di rumah Mikhael, pertengahan 2009, dikemudian hari terbentuklah Suara Kasih yang menampung kembali mantan personil yang pernah ikut meramaikan Paduan Suara Serafim dan tambahan orang baru lain yang ingin bergabung. Terwujudnya Suara Kasih boleh dibilang melegahkan hati Mikhael, Marsel dan Bius karena ada keprihatinan diantara mereka kalau di Paroki Kumba sudah saatnya memiliki Paduan Suara sendiri. Merekapun mulai sering berkumpul, melatih sejumlah lagu. Dari konsep awal sebagai koor Wilayah II lalu seiiring waktu berlalu, Suara Kasih eksis sebagai Paduan Suara Paroki Kumba.
Baca Juga : Belajar Menerima Keberagaman dari Pater Gusti
Baca Juga : Memaknai Bulan Maria, PMRSH Berziarah ke Golo Curu
Baca Juga : Menulis, Menukik Lebih Dalam
Sejak terbentuk tahun 2009, Suara Kasih telah mulai melakukan pelayanan dalam berbagai ajang bernuansa perayaan iman, seperti misa syukur, misa kedukaan, misa sulung tahbisan imamat dan pernikahan. Dengan kekuatan 25 anggotanya, mereka melayani hingga lintas paroki dalam Keuskupan Ruteng. Di dua kabupaten tetangga, Manggarai Barat dan Manggarai Timur sering pula mereka diundang melakukan pelayanan.
Kekompakan menjadi modal utama mereka dalam meraih sukses dan nama besar termasuk ketika ada personil yang walaupun telah bekerja di tempat jauh. Bius, misalnya, yang juga pelatih, kini tinggal di Manggarai Timur, saat ada hajatan tampil yang ia tetap berpartisipasi di waktu-waktu luangnya.
Ketika akan berkompetisi di ajang Paduan Suara Gerejani (Pesparani) tingkat Kabupaten Manggarai tahun 2018 lalu, untuk memastikan hasil gemilang, panitia dari Dewan Paroki Santu Mikhael Kumba mengadakan seleksi internal terhadap setiap personil yang akan memperkuat Paduan Suara yang mewakili Paroki Kumba. Dari mereka yang terpilih, mayoritas berasal dari Suara Kasih.
“Setelah seleksi selesai dan kami semua yang terpilih dikumpul, kami merasa surprise, di luar dugaan karena semua yang terpilih sebagian besar dari Suara Kasih,” cerita Mikhael belum lama ini, mengenang kembali peristiwa tak terlupakan itu. Di perlombaan antar wilayah dalam paroki, Suara Kasih juga selalu masuk nominasi 3 besar.
Keberadaan Suara Kasih tidak terlepas dari sosok Marsel Jemahut, 58 tahun, yang kini sudah menetap di wilayah Paroki St. Vitalis Cewonikit. Ayah dari 4 anak ini berkisah sejak duduk di bangku SMAK St. Thomas Aquinas Ruteng, ia telah sering bergabung dengan kelompok koor yang ada di Paroki Cewonikit. Pria kelahiran Pau-Ruteng yang selalu berperan sebagai pelatih koor, awalnya mengajak sahabat kenalannya dari lintas wilayah Paroki Kumba membentuk koor Serafim jauh sebelum Suara Kasih ada.
Bertahan selama enam tahun sejak tahun 2000, Serafim lalu “tenggelam” dalam perjalanan waktu. Jejak pelayanan yang ditinggalkannya banyak dan Serafim mengalami masa kejayaannya ketika sering mengisi perayaan Ekaristi dimana-mana baik dalam paroki sendiri maupun di paroki-paroki lain.
“Setelah Serafim sudah tidak berjalan lagi, kami lalu menggagas Paduan Suara baru di rumah Pak Mikhael. Kami bertiga lalu bertemu dan mulai membuat rencana mengajak orang dan membuat latihan,” kata Marsel.
Tidak sulit mencari anggota awal Suara Kasih, karena di wilayah II tempat ketiganya bermukim, ada banyak orang yang memiliki bakat menyanyi dan tidak menolak saat diajak bergabung. Sekitar 20-an anggotanya saat ini, masih dipenuhi penyanyi dari umat yang tinggal di Wilayah II. Usia dan kesibukan tidak menjadi halangan bagi Marsel untuk tetap berada di Suara Kasih, setiap diberitahu akan ada latihan dan permintaan pelayanan, ia pasti hadir.

Setelah menamatkan studi di SMA, Marsel tinggal di Kota Yogyakarta dan bersama teman yang konsen pada paduan suara, seperti komponis Paul Widyawan, P. Edmund Prier dan tenaga ahli lain lalu menggalang kerja sama memberi pelatihan pada kelompok-kelompok koor di beberapa KBG. Di Kota Gudeg ia semakin mahir menjadi dirigen, memandu paduan suara tampil dalam acara-acara gerejani. “Mereka ini orang-orang besar di lingkup musik liturgi gereja, banyak juga yang kaget waktu itu dan bilang, kok bisa ya, Mas Marsel ajak mereka beri kita latihan,” kisah Marsel sambil tertawa mengingat kejadian itu.
Penggagas Suara Kasih lainnya, Mikhael Dales, 61 tahun, termasuk memiliki rekam jejak menarik di dunia tarik suara. Bermula ketika masih menetap bertugas di Timor-Timur (sekarang Timor Leste), tahun 1988 ia telah menjadi pembina paduan suara di lingkup Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan pernah dikirim mengikuti diklat pembina paduan suara.
Saat Timor-Timur mengalami gejolak politik, Mikhael dan banyak orang lainnya memilih mengungsi ke Kupang sementara teman-teman lainnya ada yang pulang ke Pulau Jawa dan derah lain. Di Kota Karang inilah ia kembali berkumpul dengan sekitar 20-an sahabat lama di Vocalista Kemanek, paduan suara yang pernah mereka bentuk di Timor-Timur.
Di tempat pengungsian itu, Vocalista Kemanek didominasi pengungsi asal Timor dan Flores. Walaupun dalam suasana hidup baru yang berubah akibat harus mengungsi, namun kecintaan mereka untuk berkumpul menyanyi bersama dalam kelompok paduan suara tetap terjaga. Bahkan, Vocalista Kemanek sempat membuat beberapa konser di Kupang dan Atambua.
Pada bulan Juli 2000, Mikhael dan keluarga hijrah, pulang ke kampung halaman di Ruteng, Manggarai. Sejak kepindahan itu, diam-diam ia memendam niat untuk bisa bergabung lagi seandainya ada paduan suara yang mengajaknya. Ia sedikit merasa lega, cita-citanya sedikit terobati ketika beberapa kali diminta menjadi juri di beberapa ajang perlombaan seperti Ruteng Idol dan lomba-lomba paduan suara. Pada perhelatan Pesparani Kabupaten Manggarai Timur, ia juga terlihat menjadi tim juri.
Selain hobi benyanyi, pensiunan ASN, ayah dari dua orang anak ini juga gemar meniup saxofon dan flute. Tak jarang, pada waktu tertentu di senja hari, dari rumahnya yang terletak di Jalan Juria Tenda, suara lembut saxofon mengalun memainkan lagu-lagu pop dan gerejani. Ia mengisahkan, kecintaannya pada alat musik tiup bermula ketika berjumpa seorang sahabat yang bekerja di Wahana Visi Indonesia (WVI) Ruteng. Karena sulit mendapatkan flute, tahun 2017, tak sengaja dari sahabatnya itulah ia bisa meminjam alat tersebut dan mulai melatih secara serius.
Mikhael belajar alat musik tiup, seperti flute dan saxofon secara otodidak dengan meminjam milik temannya di WVI. Dikemudian hari impiannya tercapai, ketika ia bisa membeli sendiri kedua alat musik itu dan terus berlatih memainkan lagu-lagu kesukaannya. Ia pun sering menghibur banyak orang dengan saxofone di beberapa acara termasuk saat mengiringi lagu di event koor Misa tahbisan uskup Ruteng dan malam pengumuman pemenang lomba Pasparani 2018 di Aula Asumpta Kathedral.
Selain cinta pada dunia tarik suara dan alat musik tiup, Mikhael juga penyuka olah raga tenis. Di cabang olah raga yang cukup menguras tenaga ini, ia tercatat pernah meraih juara II perlombaan Tenis ganda putra dalam rangka Ulang Tahun Kabupaten Manggarai Barat tahun 2020.
Berbagi Kasih Dengan Suara
Di Paroki Santu Mikhael Kumba, Suara Kasih tercatat sebagai kelompok kategorial. Mikhael berkisah, karena sering diberi tugas menyanyikan Mazmur saat Misa, ia senang karena bakatnya bisa tersalurkan dan membawa orang lain masuk dalam penghayatan lebih dalam kata-kata dalam Mazmur.
“Di Suara Kasih, kami semua saling menguatkan diantara sesama anggota, kalau ada anggota yang mengalami situasi hidup tertentu, kami biasanya saling mendukung dan memberi peneguhan. Kekeluargaan kami di Suara Kasih luar biasa sekali, dengan tetap menjaga relasi yang baik antara yang muda dengan yang tua dan sebaliknya. Kalau pelayanan untuk gereja juga kami tidak hitung, semuanya kami buat demi kemuliaan Tuhan,” tutur Mikhael.
Suara Kasih sepanjang perjalanannya, juga selalu mengedepankan sisi pertimbangan sosial. Dalam hal tarif pelayanan misalnya, semua disesuaikan dengan kondisi acara di mana mereka diminta mengiring dengan nyanyian agar kemeriahan acara lebih hidup dan terasa menarik, tidak menjemukan. Di acara kedukaan, Suara Kasih biasanya tidak mamatok tarif seperti di event lainnya seperti syukuran dan pernikahan. “Intinya pelayanan dan semua orang yang mendengarkan kami bernyanyi bisa masuk dalam suasana hati yang mengalami kasih Tuhan,” katanya menambahkan.
“Tujuan pertama kami membentuk Suara Kasih adalah setiap anggotanya merasa bahwa kami semua satu keluarga,” kisah Marsel Jemahut. Ia mengharapkan melalui Suara Kasih, semua anggota yang bergabung di dalamnya bisa membagi kasih dengan sesama melalui suara. “Tidak hanya uang yang dipentingkan atau menjadi tujuan, tetapi dengan suara atau bernyanyi kita bisa membuat orang lain senang.”
Spirit itu terus menjadi pegangan para personil Suara Kasih. Di dalam wadah ini mereka semua tidak hanya mendapat sahabat tetapi juga “anggota keluarga” baru dan memperlakukan satu sama lain seperti saudara sendiri. “Suara Kasih itu kurang lebih sama dengan memperluas persaudaraan,” tambahnya.
Tidak mudah menjadi pelatih sekaligus “orang yang dituakan” dalam sebuah kelompok paduan suara. Selain harus tetap sabar dengan jam latihan yang kadang melelahkan juga tetap menjaga kebugaran fisik agar disetiap waktu bisa tetap tampil prima.
Menurut Marsel, paduan suara menjadi wadah untuk mengumpulkan sahabat kenalan menjadi satu keluarga, tidak ada sekat atau jarak walaupun mereka semua datang dari berbagai latar belakang suku, profesi dan usia berbeda. Sejak awal, Marsel menanamkan kesadaran pada diri semua anggota Suara Kasih tentang Qui bene cantat, bis orat (Yang bernyanyi dengan baik, sama dengan berdoa dua kali).
Ketika ia dipercayakan melatih kelompok koor maupun paduan suara paroki, tak jarang ia selalu berjumpa dengan orang baru yang ragu atau minder akan kemampuan mereka dalam bernyanyi. “Saya sering bilang ke mereka itu, kita hanya bernyanyi untuk Tuhan dan Dia tahu kita bernyanyi dari hati. Sedangkan penilaian secara manusia dari orang lain tentang bagus tidaknya, tidak perlu kita tanggapi atau masukan ke pikiran. Karena kita menyanyi itu bukan saja untuk orang yang mendengarkan, tetapi terutama untuk Tuhan,” kata Marsel.
Tujuh tahun terakhir sebelum pandemi melanda dunia setahun lalu, ia sering memenuhi permintaan pihak Unika Santu Paulus Ruteng untuk melatih koor bagi para mahasiswa dari berbagai prodi saat mereka akan menjalani tugas asistensi Natal dan Paskah ke paroki-paroki. (Jimmy Carvallo)
Mantap Pak
Terimakasih